Tanggal 21 Oktober 2025 awal sebuah perjalanan saya ke pulau bawean bersama-sama dengan MIPI (Masyarakat Ilmiah Pemuda Indonesia) untuk mengadakan acara jelajah research adventure. Pagi-pagi sekali, tepat setelah salat Subuh, saya berangkat dari Malang menuju Terminal Arjosari menggunakan gojek. Jam masih menunjukkan pukul 05.00, tapi semangat saya sudah penuh, membayangkan perjalanan panjang menuju Pulau Bawean. Setibanya di Surabaya, saya dijemput oleh Mas Budi, teman perjalanan sekaligus ketua pemandu research adventure kami selama di sana. Dari Surabaya, kami langsung meluncur ke Pelabuhan Gresik untuk naik kapal yang dijadwalkan berangkat jam 09.00 WIB. Tapi, seperti biasa dalam setiap perjalanan, selalu ada cerita seru: kami sempat salah jalan di tol dan kebablasan sampai keluar di Mojokerto! Untungnya masih sempat balik arah, meskipun sempat bikin deg-degan takut terlambat.
Naik kapal menuju Bawean ternyata bukan perjalanan singkat. Sekitar enam jam kami terombang-ambing karena gelombang laut cukup tinggi. Rasanya seperti naik “roller coaster” versi laut, campuran antara seru dan sedikit mual. Tapi semua terbayar begitu pulau itu terlihat dari kejauhan—hijau, tenang, dan indah. Setibanya di Bawean, kami langsung menuju sebuah pondok pesantren. Di sana, saya terkesima melihat para santri membuat batik khas Bawean. Motif-motifnya unik, penuh cerita, dan jelas mencerminkan identitas pulau ini. Malam harinya, kami beristirahat di sebuah cottage milik ketua yayasan Pulau Bawean—suasana sederhana tapi hangat.
Hari pertama
Hari berikutnya, petualangan dimulai lagi. Kami trekking menuju Air Terjun Ngelancar. Suara gemericik air dan suasana alami membuat rasa lelah hilang seketika. Setelah itu, kami berkeliling untuk melihat potensi lain di Bawean: ternak lokal dan tentu saja ikon pulau ini, rusa Bawean yang cantik dan langka. Melihatnya secara langsung di habitatnya adalah pengalaman yang benar-benar luar biasa.
Hari kedua
Waktu pulang ternyata jadi cerita tersendiri. Karena ombak laut yang tinggi, tidak ada kapal yang beroperasi minggu itu. Pilihan terakhir adalah naik pesawat Susi Air dengan kapasitas hanya 12 penumpang. Tiket ke Surabaya sudah habis, jadi kami terpaksa terbang ke Sumenep dulu. Dari Sumenep, perjalanan dilanjutkan dengan bus ekonomi selama 5 jam menuju Surabaya. Baru setelah itu kami kembali lagi ke Malang dengan badan lelah, tapi hati penuh cerita.
Perjalanan ini memang penuh drama—dari kapal yang goyang, pesawat kecil, sampai harus muter lewat Sumenep. Tapi justru di situlah letak serunya: setiap langkah punya cerita. Dan Pulau Bawean? Ia meninggalkan kesan yang sulit dilupakan, sebuah pulau kecil yang menyimpan pesona besar.